Gelap. Di mana ini? Ke mana pun aku melihat hanya kegepalanlah yang menyambutku. Aku merasa takut. Aku mencoba berlari tapi aku tidak menemukan ujung kegelapan ini. Di mana aku? Apa ada orang di sini? Aku takut berada di tempat gelap seperti ini sendirian.
Dor …
Suara letusan pistol. Aku menoleh ke arah asal suara itu. Aku tidak tahu pasti dari mana suara itu berasal. Semuanya gelap. Aku makin merasa takut. Apa ada penjahat di sini? Aku mulai berjalan menjauhi asal suara itu secara perlahan. Tiba-tiba kaki menabrak sesuatu yang berada di lantai. Aku segera terjatuh. Sial! Benda apa itu? Akhirnya mataku mulai terbiasa dengan kegelapan. Aku bisa melihat lebih jelas sekarang. Aku pun segera berjongkok dan memeriksa benda itu.
Aku sangat kaget saat mengetahui benda yang membuatku jatuh itu adalah seorang manusia. Seorang pria. Pria itu tidur menelungkup di atas lantai yang dingin. Aku mengguncangkan tubuh pria itu untuk membangunkannya. Pria itu tidak bergerak. Aku mengguncangkan badannya lebih kencang lagi sambil sesekali berteriak. Tapi pria itu tidak bergerak. Aku akhirnya membalikkan tubuhnya. Alangkah kagetnya diriku saat melihat noda merah di kemeja putihnya. Darah. Apakah pria ini tertembak? Aku mencoba melihat wajahnya.
Oh tidak!
Itu …
Ayah?
“Kau membunuh ayahmu.”
Aku berbalik. Di depanku berdiri seorang pemuda yang mengenakan jas yang hampir sama modelnya dengan jas Von Karma. Dia tersenyum picik padaku. Aku merasa pusing. Siapa pun akan merasakan hal yang sama sepertiku. Dia diriku sendiri.
“Kau membunuh ayahmu.”
“Tidak! Bukan aku yang membunuh ayah!” sangkalku.
“Kalau begitu apa yang kau pegang itu?” tanya diriku yang lebih muda itu.
Aku melihat ke arah yang dimaksudnya. Entah sejak kapan ada pistol di tanganku. Pistol itu aku kenali sebagai pistol yang telah merengut nyawa ayahku 15 tahun silam. Cepat-cepat aku melempar pistol itu jauh-jauh.
“Jangan membantah lagi. Kau bertanggung jawab dalam pembunuhan ayahmu.” desaknya.
“Tidak! Pergi! Aku tidak membunuh ayahku!!” aku mati-matian menyangkalnya.
“Apa kau pikir ayahmu bangga melihatmu sekarang Miles?” diriku yang lebih muda itu berjalan ke arahku. Dia kembali memasang senyun piciknya itu, “Apakah dia terima melihat anaknya menjadi seperti ini?”
“Tidak … tidak!! Von Karma yang melakukannya!” aku merasakan lututku lemas. Tak lama kemudian aku pun segera jatuh berlutut. Aku membenamkan wajahku di balik kedua tanganku. “Aku tidak melakukannya.”
“Kau salah Miles …” kali ini yang terdengar bukan suara diriku yang lebih muda. Kali ini yang terdengar adalah suara pria yang jauh lebih tua dariku. Suara yang sangat familiar. Itu suara Von Karma.
Aku segera menatap sosok diriku itu. Dia memasang kembali senyuman penuh kelicikan itu. Dia menunjukku lurus-lurus.
“Kau milikku Miles!!” serunya dengan suara Von Karma.
Tiba-tiba aku melihat bayangan seorang pria berdiri di sampingnya. Makin lama bayangan itu makin terlihat jelas. Aku sangat kaget saat tahu itu adalah bayangan Von Karma. Dia memakai baju yang sama dengan diriku yang lebih muda itu. Senyumannya, bahkan gayanya, semuanya sama. Aku merasa gemetar. Aku makin merasa takut.
Apa maksudnya ini?
“KAU SEORANG VON KARMA!!” seru Von Karma sambil menunjukku.
***
Akhirnya Phoenix bisa beristirahat juga. Sejak tadi dia sibuk mengurusi Edgeworth. Setelah jaksa itu pingsan, Phoenix langsung membawanya ke rumah Edgeworth. Gumshoe memanggil dokter sementara dia menunggui Edgeworth. Pria itu tidak berhentinya mengigau dan berteriak. Tubuhnya basah karena keringat. Phoenix pelan-pelan mengganti bajunya dan menyeka keringat Edgeworth. Dia juga tetap menunggu di samping tempat tidur sambil menggenggam tangan Edgeworth.
Akhirnya dokter datang. Sang dokter langsung memeriksa Edgeworth. Tidak ada penyakit yang serius. Edgeworth hanya terlalu lelah dan stress. Jika dia bisa beristirahat dengan tenang, dia bisa cepat sembuh. Setelah itu dokter dan Gumshoe pergi (Gumshoe masih ada kerjaan) dan tinggallah Phoenix sendiri. Setelah merasa Edgeworth sudah tenang, dia pun memutuskan untuk tidur sebentar di sofa ruang tamu. Sampai …,
“TIDAK!!!”
Phoenix yang baru saja tertidur di sofa dikejutkan oleh sebuah jeritan kerasa dari arah kamar tidur. Phoenix segera menghampiri memasuki kamar tersebut untuk mengecek keadaan Edgeworth. Dia segera mendapati Edgeworth terbangun dengan mata membelalak lebar dan berkeringat dingin. Dia lalu menghampiri pria itu dan membelai punggungnya.
“Ada apa Edgeworth?” tanya Phoenix.
“Aku membunuh ayahku …,” gumam Edgeworth dengan tatapan hampa.
“Apa? Apa maksudmu? Kau tidak membunuh ayahmu.” kata Phoenix.
“Aku membunuh ayahku,” air mata mulai membendung mata kelabu Edgeworth, “aku turut bertanggung jawab atas kematiannya. Kalau saja aku tidak melempar pistol itu …, kalau saja Von Karma tidak tertembak …, mungkin sekarang ayah masih hidup.”
“Edgeworth! Ini bukan salahmu! Kau tidak membunuh ayahmu!” kata Phoenix sambil mengguncangkan bahu Edgeworth.
“Aku mengecewakannya. Aku menjadi sama seperti Von Karma. Aku anak yang tidak baik. Aku mengecewakan ayahku.” air mata mulai mengalir dan membasahi pipi Edgeworth.
“Edgeworth,” Phoenix langsung merangkul tubuh Edgeworth yang gemetar dengan erat, “lupakan semua itu. Ini bukan salahmu.”
“Tidak. Ini salahku. Semua salahku. Aku patut disalahkan.” kata Edgeworth.
“Tidak Edgeworth. Kau tidak mengerti,” Phoenix makin memperat rangkulannya, “ini bukan salahmu. Tidak ada yang menyalahkanmu. Von Karma yang salah. Dia hanya memperalatmu Edgeworth. Kau tidak salah. Jangan menyalahkan dirimu! Apa kau pikir ayahmu senang melihatmu seperti ini Edgeworth?”
“Tapi …,”
“Dengar! Setahuku Miles Edgeworth yang kukenal dulu adalah anak yang kuat dan berhati mulia. Dia sangat memegang perkataan ayahnya lebih dari apapun. Apa kau pikir ayahmu bangga melihatmu seperti ini sekarang? Apakah dia membesarkanmu menjadi seseorang yang gampang jatuh seperti ini? Apakah dia mendidikmu menjadi pribadi yang lemah?”
Edgeworth tidak menjawab.
“Miles …, ini bukan salahmu,” kata Phoenix, “maafkan dirimu. Hadapi semua ini!!”
Tiba-tiba dia merasa badan Edgeworth tidak gemetar lagi. Dia malah merasakan tangan Edgeworth merangkul balik Phoenix. Edgeworth membenamkan wajahnya di bahu Phoenix, membuat kemejanya basah oleh air mata. Phoenix kaget sekali. Dia tidak tahu harus berbuat apa.
“Terimakasih …,” gumam Edgeworth. “Aku tidak akan kabur lagi.” tambahnya.
***
Angin musim dingin berhembus tanpa ampun dan memaksa Edgeworth untuk merapatkan mantelnya. Dia pandangi batu nisan putih, seputih butiran salju yang menyelimuti tanah. Dia pandangi nisan itu.
“Aku sudah tidak melihat mimpi itu lagi Ayah.” kata Edgeworth pada batu nisan itu seolah-olah dia sedang berbicara dengan ayahnya sendiri.
Itu memang benar. Mimpi buruk itu telah berakhir. Dia tidak lagi memimpikan saat di mana dia kehilangan ayahnya. Dia juga sudah tidak melihat sosok Von Karma yang menghantuinya. Sudah lama sekali dia tidak tertidur tanpa melihat mimpi. Rasanya damai sekali. Baru kali ini dia benar-benar bisa tidur.
Mimpi itu telah selesai.
“Wright memang benar Yah,” kata Edgeworth lagi, “kau tidak mendidikku menjadi anak yang lemah. Kau pasti mengharapkanku bisa menangani masalah ini. Aku terlalu buta dan bodoh sehingga aku tidak bisa membedakan mana kesalahanku dan mana yang bukan. Aku tahu sekarang.
“Tapi aku tetap tidak bisa memaafkan diriku sendiri Ayah. Mungkin aku memang tidak benar-benar memalsukan bukti namun tetap saja aku melakukan banyak cara untuk memenangkan sidang. Aku memang jahat. Aku tidak memaafkan diriku sendiri, Yah. Aku bahkan tidak tahu apa aku masih punya nyali untuk meneruskan pekerjaanku ini.”
Edgeworth memasukkan tangannya ke dalam sakunya. Dikeluarkannyalah pin bundar yang menunjukkan jabatannya sebagai jaksa. Dia tidak pernah memakainya. Tapi dia memang selalu membawanya. Pin inilah yang selalu mengingatkannya bahwa dia adalah seorang jaksa. Dulu dia sangat bangga akan pinnya ini. Namun sekarang, dia tidak tahu lagi. Apakah dia merasa marah? Ataukah malu? Mungkinkah kekecawaan? Pin ini adalah pengingat akan dosa yang telah ia lakukan selama dia menjadi jaksa.
“Kalau saja Wright tidak muncul, mungkin selamanya aku akan tetap menjadi pria brengsek, sang Demon Prosecutor.” lanjutnya.
Phoenix Wright, Edgeworth tidak akan mungkin melupakan nama itu. Dia adalah anak kecil yang dituduh mengambil uangnya saat mereka kelas 4 SD. Kalau dipikir-pikir, dia adalah orang pertama yang Edgeworth bela. Edgeworth memang bercita-cita menjadi pengacara. Ironis sekali setelah 15 tahun tidak bertemu, anak yang ia bela itu justru menjadi pembela dan membelanya.
“Aku tidak tahu harus berkata apa padanya Ayah. Sudah seharusnya aku mengucapkan terimakasih padanya. Namun …, aku tidak bisa melakukan hal itu. Mungkin ini karena egoku yang terlalu tinggi. Aku tidak tahu. Aku hanya …, tidak tahu harus berkata apa padanya. Ya, aku merasa beruntung bisa bertemu dengannya sehingga aku bisa menyadari semua kesalahanku. Tapi …,
“Mungkin aku takut bertemu dengannya lagi.”
Selama ini Edgeworth melihat Phoenix sebagai sosok rivalnya. Tidak ada pengacara yang bisa menyainginya seperti ini. Pria itu kerap kali membuatnya pusing di pengadilan. Namun di luar semua itu, Phoenix adalah satu-satunya orang yang Edgeworth anggap sebagai saingan yang setara dengannya.
Tapi sekarang …, Edgeworth tidak berani berdiri berdampingan dengan Phoenix. Phoenix adalah orang yang lurus dan berhati bersih. Dia selalu mencari kebenaran. Edgeworth sadar bahwa mereka berdua tidaklah sama. Selama ini yang Edgeworth cari adalah kemenangan semata. Terkadang dia menggunakan akal bulus. Tapi Phoenix tidak. Dia memenangkan kasusnya dengan cara yang bersih. Sekarang Edgeworth baru tahu betapa besarnya jurang yang memisahkan mereka berdua.
“Sampai saat ini aku masih resmi menjadi jaksa. Namun aku tidak punya semangat untuk menjadi jaksa lagi. Aku malu jika mengingat bagaimana caraku menjadi jaksa. Aku tidak tahu apakah aku cocok menjadi jaksa.
“Sebenarnya untuk apa aku menjadi jaksa?!”
Batu nisan di depannya tidak bergeming. Edgeworth ingin tertawa sendiri jadinya. Ayahnya tidak akan mungkin bisa menjawabnya.
“Apa pun itu, aku berjanji padamu, Yah, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk bertahan,” Edgeworth berbalik dan memunggungi makam ayahnya, “sampai aku menemukan arti menjadi jaksa.”
masih to be continued